Rabu, 26 Februari 2014

ANALISIS ETIKA PROFESI HAKIM



HASIL PENGAMATAN
Pada era reformasi sekarang ini yang disertai krisis multidimensi di segala bidang di antaranya dalam bidang hukum, timbul keprihatinan publik akan kritik tajam sehubungan dengan carut marutnya penegakan hukum di Indonesia, dengan adanya penurunan kualitas hakim dan pengabaian terhadap kode etik, serta tidak adanya konsistensi, arah dan orientasi dari penegak hukum itu sendiri. Hal ini menyebabkan tidak adanya ketidakpastian dan ketidakadilan hukum dan pihak yang sering disalahkan adalah aparat penegak hukum itu sendiri, terutama oleh Hakim.
Hakim adalah salah satu aparat penegak hukum (Legal Aparatus) yang sudah memiliki kode etik sebagai standar moral atau kaedah seperangkat hukum formal, namun realitanya para kalangan profesi hakim belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam melaksanakan profesinya sehari-hari, terlihat dengan banyaknya yang mengabaikan kode etik profesi, sehingga profesi ini tidak lepas mendapat penilaian negatif dari masyarakat.
Banyak realita yang bisa dilihat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh kalangan profesi hakim yang menyimpang dari kode etiknya. Misalnya, hakim disuap agar pihak yang salah tidak diberikan hukuman yang berat bahkan dibebaskan dari segala tuntutan. Hal ini jelas melanggar kode etik hakim yaitu yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Selain itu, hakim juga sering menggunakan jabatannya tidak pada tempatnya. Misalnya, seorang hakim menggunakan jabatannya untuk menguntungkan pribadinya karena orang melihatnya sebagai seorang hakim dimana ketika memanfaatkan jabatan tersebut banyak orang lain yang dirugikan.
Berbagai kasus gugatan publik terhadap profesi hakim merupakan bukti bahwa adanya penurunan kualitas hakim sangat wajar sehingga pergeseranpun terjadi dan sampai muncul istilah mafia peradilan. Indikasi tersebut menunjukan hal yang serius dalam penegakkan standar profesi hukum di Indonesia. Kode etik tampaknya belum bisa dilaksanakan dan nilai-nilai yang terkandung belum bisa diaplikasikan oleh pengembannya sendiri. Padahal untuk menegakkan supremasi hukum adalah dengan menegakkan etika, profesionalisme serta disiplin. Berdasarkan realita bahwa banyaknya kalangan profesi hakim yang mengabaikan nilai-nilai moral terutama nilai-nilai yang ada dalam kode etik hakim.
ANALISA
Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya Negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.
Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang.
Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup. Hakim juga harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
Terhadap tanggung jawab profesi hakim itu sendiri dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab moral, tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.
Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidakmampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini:
1.   To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).
2.   To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
3.   To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4.   To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambing kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
1.   Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
2.   Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
3.   Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
4.   Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
5.   Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.

PENUTUP
  1. Simpulan
Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut undang-undang, seseorang yang memutus suatu perkara secara adil berdasar atas bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri. Dalam melakukan kekuasaan kehakiman, hakim dihadapkan dengan berbagai hal yang dapat mempengaruhi putusannya nanti. Dengan demikian jabatan hakim ini menjadi sangat penting karena memutus suatu perkara bukanlah hal mudah. Ia harus sangat berhati-hati menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah. Disamping itu hakim adalah jabatan yang mulia sekaligus penuh resiko dan tantangan. Mulia karena ia bertujuan menciptakan ketentraman dan perdamaian di dalam masyarakat. Penuh resiko karena di dunia ia akan berhadapan dengan mereka yang tidak puas dengan keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang seharusnya.
  1. Rekomendasi
Dari peranannya yang sangat penting dan sebagai profesi terhormat, atas kepribadiannya yang dimiliki, hakim mempunyai tugas sebagaimana dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman yaitu Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Di sini terlihat jelas seorang hakim dalam menjalankan tugasnya selain di batasi norma hukum atau norma kesusilaan yang berlaku umum juga harus patuh pada ketentuan etika profesi yang terdapat dalam kode etik profesi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar