HASIL
PENGAMATAN
Pada era reformasi sekarang ini yang
disertai krisis multidimensi di segala bidang di antaranya dalam bidang hukum,
timbul keprihatinan publik akan kritik tajam sehubungan dengan carut marutnya
penegakan hukum di Indonesia, dengan adanya penurunan kualitas hakim dan
pengabaian terhadap kode etik, serta tidak adanya konsistensi, arah dan
orientasi dari penegak hukum itu sendiri. Hal ini menyebabkan tidak adanya
ketidakpastian dan ketidakadilan hukum dan pihak yang sering disalahkan adalah
aparat penegak hukum itu sendiri, terutama oleh Hakim.
Hakim adalah salah satu aparat penegak
hukum (Legal Aparatus) yang sudah memiliki kode etik sebagai standar
moral atau kaedah seperangkat hukum formal, namun realitanya para kalangan
profesi hakim belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam
melaksanakan profesinya sehari-hari, terlihat dengan banyaknya yang mengabaikan
kode etik profesi, sehingga profesi ini tidak lepas mendapat penilaian negatif
dari masyarakat.
Banyak realita yang bisa dilihat
mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh kalangan profesi hakim yang menyimpang
dari kode etiknya. Misalnya, hakim disuap agar pihak yang salah tidak diberikan
hukuman yang berat bahkan dibebaskan dari segala tuntutan. Hal ini jelas
melanggar kode etik hakim yaitu yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Selain itu, hakim juga sering
menggunakan jabatannya tidak pada tempatnya. Misalnya, seorang hakim
menggunakan jabatannya untuk menguntungkan pribadinya karena orang melihatnya
sebagai seorang hakim dimana ketika memanfaatkan jabatan tersebut banyak orang
lain yang dirugikan.
Berbagai
kasus gugatan publik terhadap profesi hakim merupakan bukti bahwa adanya
penurunan kualitas hakim sangat wajar sehingga pergeseranpun terjadi dan sampai
muncul istilah mafia peradilan. Indikasi tersebut menunjukan hal yang serius
dalam penegakkan standar profesi hukum di Indonesia. Kode etik tampaknya belum
bisa dilaksanakan dan nilai-nilai yang terkandung belum bisa diaplikasikan oleh
pengembannya sendiri. Padahal untuk menegakkan supremasi hukum adalah dengan
menegakkan etika, profesionalisme serta disiplin. Berdasarkan realita bahwa
banyaknya kalangan profesi hakim yang mengabaikan nilai-nilai moral terutama
nilai-nilai yang ada dalam kode etik hakim.
ANALISA
Sebagai sebuah profesi yang berkaitan
dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan,
hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara
yang diatur dalam undang-undang.
Hakim memiliki kedudukan dan peranan
yang penting demi tegaknya Negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa
nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam
menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi
manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan
bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.
Profesi hakim adalah profesi yang
merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai
kemerdekaan dan keadilan. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari
kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan
biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang.
Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh
membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah.
Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara
horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila
hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya
hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama
dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang
berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim.
Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara
tertutup. Hakim juga harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya.
Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap
sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada
masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, sebagaimana
diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu hakim wajib menjunjung tinggi
nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan
bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia
mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses
pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera,
maupun sesama majelis hakim.
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk
profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu,
hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur yaitu profesi yang pada hakikatnya
merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Sebagai suatu profesi di
bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu
keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas
dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi
lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang
diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
Terhadap tanggung jawab profesi hakim
itu sendiri dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab moral,
tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral
adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku
dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi
maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat
bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab
yang menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak
melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan
tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai
dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik
bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.
Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian
terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan
ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu,
penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya
juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan
tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar
kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang
mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai
hukum acara di persidangan. Ketidakmampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct
dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
Secara filosofis, tujuan akhir profesi
hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das
sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan
alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu
etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal
perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for
Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di
bawah ini:
1. To hear corteously (mendengar dengan
sopan dan beradab).
2. To answer wisely (menjawab dengan arif
dan bijaksana).
3. To consider soberly (mempertimbangkan
tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide impartially (memutus tidak
berat sebelah).
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat
hakim tercermin dalam lambing kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim,
yaitu:
1. Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk
bersikap adil;
3. Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana
atau berwibawa;
4. Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur
atau tidak tercela; dan
5. Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.
PENUTUP
- Simpulan
Hakim
adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut
undang-undang, seseorang yang memutus suatu perkara secara adil berdasar atas
bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri. Dalam melakukan
kekuasaan kehakiman, hakim dihadapkan dengan berbagai hal yang dapat
mempengaruhi putusannya nanti. Dengan demikian jabatan hakim ini menjadi sangat
penting karena memutus suatu perkara bukanlah hal mudah. Ia harus sangat
berhati-hati menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah. Disamping itu hakim
adalah jabatan yang mulia sekaligus penuh resiko dan tantangan. Mulia karena ia
bertujuan menciptakan ketentraman dan perdamaian di dalam masyarakat. Penuh
resiko karena di dunia ia akan berhadapan dengan mereka yang tidak puas dengan
keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan neraka jika tidak menetapkan
keputusan sesuai dengan yang seharusnya.
- Rekomendasi
Dari peranannya yang sangat penting dan
sebagai profesi terhormat, atas kepribadiannya yang dimiliki, hakim mempunyai
tugas sebagaimana dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman yaitu Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Di sini terlihat jelas seorang hakim dalam menjalankan
tugasnya selain di batasi norma hukum atau norma kesusilaan yang berlaku umum
juga harus patuh pada ketentuan etika profesi yang terdapat dalam kode etik
profesi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar